aku pernah tersesat dalam pekat yang menjerat lebih kelam dari hitam langkah langkahku israil selalu berjalan dalam gelap yang gigil dan kamu adalah lentera sempat tercebur kedalam lumpur lalu dengan pelukan lengan kokohnya lumpur itu menenggelamkanmu membuatmu lebur dalam tumpahan anggur aku masih israil dalam langkah langkah hitamku yang gigil dan pada lumpur yang sama aku tenggelam tanpa akar yang mampu kugenggam ketika semburat cahayamu menerpa lalu aku mendekat dalam jarak yang tepat aku telanjang membiarkanmu mengusap kulit kulit lara memohonmu membelai batang batang nestapa berharap cahayamu menghangati sepi dan kamu pun telanjang mengijinkanku mengintimi tubuh tubuh ngilu meraba bekas bekas luka menjamah ceruk ceruk masa lalu dan menatap lekuk lekuk jatidiri kemudian aku mengerti kamu tetap sebuah lentera selalu bercahaya, tetapi bagiku kamu tetap seperti puisi indah tapi tak bisa sepenuhnya kupahami