Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

Y

mungkin kamu hendak menopang langit dengan kedua lenganmu yang tak pernah gamit atau kamu ingin sampaikan kemenangan atas sengatan sengatan takdir yang tak sepadan mungkin kamu adalah jalan lurus yang tiba tiba bercabang atau ketapel yang sesekali melontar kelengkeng madu kali yang lain batu dan inis bambu tetapi kamu bukan huruf yang sepenuhnya mati kamu sering ada dan terbawa dalam kata kata yang didalamnya kamu tak ada seperti mimpi mimpi indahku tentangnya

bermuda

rasaku selalu seperti air terus mengalir dan kamu sering menjadi angin ada saatnya mati dan dingin tetapi rindu adalah ombak mendebur pantai dan karang menyisir pasir, hatimu dan jantungku berdesir

meteor purba

rembulan mengendap menyambut pekat awan gelap yang pengap mengamini naluri yang gagap dingin membeku tanpa rindu hanya deru perselisihan batu yang gagu lalu sudut hatiku meremang ketika cahayamu gamang merentang dadaku bergelinjang cahayamu kirana adalah meteor purba menyala dalam hampa membakar semesta rasa

jalan yang hilang

drew.. waktu pertama kita ciptakan jalan itu kita begitu riang. bergandeng tangan meremas harapan aku tak lagi ingat betapa perdu menggores dada berapa duri terinjak dampal kaki juga tetesan keringat di dagu kita waktu itu lungkrah dan lelah belum memperkenalkan diri tiba tiba kita sampai di tanah gambut tempat yang kukira tepat menyemai benih benih yang lembut lutut kita laput waktu itu kamu mengingatkanku untuk tidak terburu kamu takut akar tanaman kita mudah tercerabut aku alpa bukan meranti atau ramin yang aku tancapkan hanya kantil dalam hati yang dekil tetapi drew.. kita sudah berada disana sekian lama dan aku lupa membuat peta jalan yang kita ciptakan dulu kini hanya tanjakan dan tikungan mengelilingi semak perdu melingkar lingkar di bibirmu

kama

aku hanya ingin angin sampaikan ini padamu rasa yang bahkan aku sendiri tak tau makna yang sebenarnya. menggantung di langit langit jantungku rasa yang merenda sisi sisi hati dengan deru secepat bumi ketika kuyu yang biru mendera fantasi yang rapuh ini seperti kelaras yang gugur dari ranting ranting jati sering aku buta oleh cahayamu yang purnama tajam melobangi retina dan pupil mata ambisi sang jelata kadang diammu adalah belati menyayat membelah rusuk kiri dan menusuk belikat menderas getah getah rindu yang melebihi sekarat lalu malamku terlewat tanpa mimpi Arimbi yang nekat tetapi kuning melatiku cahaya lilinku dirimu begitu dekat sehingga kupeluk bau tubuhmu yang lekat rekah bibirmu jaring laba laba pemerangkap lalat dan aku selalu tak mampu berteduh ketika suaramu gerimis aku bahkan tak mau berteduh karena gerimis adalah ular yang berdesis karena gerimis adalah irama yang romantis karena gerimis adalah sihir Isis yang mengobati luka dahaga yang menyu

dalam lumpur gelap (aku dan kamu)

aku pernah tersesat dalam pekat yang menjerat lebih kelam dari hitam langkah langkahku israil selalu berjalan dalam gelap yang gigil dan kamu adalah lentera sempat tercebur kedalam lumpur lalu dengan pelukan lengan kokohnya lumpur itu menenggelamkanmu membuatmu lebur dalam tumpahan anggur aku masih israil dalam langkah langkah hitamku yang gigil dan pada lumpur yang sama aku tenggelam tanpa akar yang mampu kugenggam ketika semburat cahayamu menerpa lalu aku mendekat dalam jarak yang tepat aku telanjang membiarkanmu mengusap kulit kulit lara memohonmu membelai batang batang nestapa berharap cahayamu menghangati sepi dan kamu pun telanjang mengijinkanku mengintimi tubuh tubuh ngilu meraba bekas bekas luka menjamah ceruk ceruk masa lalu dan menatap lekuk lekuk jatidiri kemudian aku mengerti kamu tetap sebuah lentera selalu bercahaya, tetapi bagiku kamu tetap seperti puisi indah tapi tak bisa sepenuhnya kupahami

ibu

aku tersesat di belantara yang penuh madat tanpa basah yang gerimis hanya lumpur yang berbau amis ibu aku terbuang saat engkau kendorkan kekang saat engkau lepaskan selendang nalarku belum cukup matang waktu itu aku belum siap ibu aku masih butuh jeweranmu aku masih perlu tuntunanmu aku masih butuh telunjukmu tetapi itu bukan salahmu ibu aku tau engkau memberiku kepercayaan bukan beban engkau mengantarku pada titian bukan tebing yang curam engkau menyerahkanku pada pelindung dan penjaga bukan pada hyena dan serigala ibu aku telah membuatmu kecewa aku menjadi hyena aku menjadi serigala hyena yang mencabikcabik harapan serigala yang merobekrobek masa depan dan membunuh keyakinan tapi kesabaranmu tak pernah menipis ibu kasih sayangmu tak pernah habis aku sering membuat hatimu teriris aku memohon maafmu ibu tak menghargai basah keringatmu menghabiskan air susumu mengeringkan telaga air matamu aku sering menggelapkan mendung diatas kepalamu

wanitaku

lalu apakah aku terlalu menakutkan bagimu seperti elang yang mengintai menunggu lengah dan siap mencabikcabik keakuanmu mencengkeram leher dan memburaikan rahsiamu? yang kamu tak ingin aku tau wanitaku aku tak akan mampu melakukan itu aku bukan elang bahkan sebelah sayapku masih patah untuk terbang sedangkan engkau lebih perkasa dari samodera lebih licin dan menyengat dari moa dan wanitaku aku tidak ingin mencabikcabik keakuanmu aku tidak ingin mencengkeram lehermu dan tetap akan kubiarkan semua yang tak hendak kau bagi padaku menjadi rahasia abadimu wanitaku aku hanya ingin kita sehangat dahana yang membakar tanpa memberi luka aku hanya ingin kita sesejuk kabut saling memberi kesejukan dalam kemarau yang kalut lalu, masih ingatkah engkau pada senja yang kita tuju? senja yang sempurna dengan bangaubangau yang bercengkerama ketika aku akan menggengam jemarimu saat engkau menyandarkan seluruhmu di pundak dan bahuku di jiwaku saat kita akan bersama melukis

mata

dan aku mencoba menyelam kedalam matamu berusaha menemukan kesejukan dan kedamaian menenggelamkan perih menghanyutkan resah dan amarah aku mencoba menyelam kedalam matamu menelisik celah hatimu tapi aku tergigil kerdil hampir menyerah mencari hatiku

lelaki dipersimpangan

lelaki itu masih terdiam berlama lama dalam persimpangan menghirup asap madat pada setangkai mawar yang selalu membuatnya nanar tubuhnya bergeletar menggeliat dalam pelukan bayang bayang samar panca indranya lumpuh dan ketajaman nalurinya tak lebih dari separuh lelaki itu masih tetap terdiam ketika setitik cahaya terbit dikejauhan sedikit menghangatkan nalurinya yang beku terlalu lama bercengkerama dengan candu matanya masih merah mungkin amarah mungkin juga resah tak mampu membaca arah kiri atau kanan menuju mimpinya yang indah

wanita di senja gerimis

wanita itu membuka daun jendela hatinya berkarat darah tersumbat dan air mata telah lama asat wanita itu menancapkan matanya pada asap yang mengepul dari pembakaran tumpukan sampah masa lalunya berharap angin menerbangkan bau yang menusuk hidungnya lalu dia menyibak rambutnya menengadahkan jari jemari pada gerimis mengusap dada dan wajahnya meminta kesejukan memeluk gelinjangnya

patah

masa lalu itu menggigit tak sudah mengunyah ngunyah perasaan mengecup kulit kulit kenangan mengulum batang batang ingatan yang perkasa tegak di rongga kepala masa lalu itu mencubit menggelitik menggerayangi titik titik rawan membelai rambut rambut sanubari lembut seperti cinta sang perawan masa lalu itu menerkam mencabik cabik kesadaran merobek robek keyakinan merencah susunan tulang belakang dan melumpuhkan seluruh persendian lalu dia hanya bisa mengalir mengikuti desir yang berpasir membasuh nafsu yang lusuh tanpa embun di sahara tetesan darah telah berujung melankolia

debu

telah kuabaikan waktu dengan tidur yang terlalu lama sekian lama aku hidup dalam impian ketika aku terjaga waktu telah terpenggal tertinggal terlalu banyak yang terlewatkan debu debu telah meluluri wajah memburamkan pandangan melumuri liur dan memenuhi kerongkongan debu yang beterbangan dalam arena perlombaan terpaksa harus kutelan

simpang

beberapa waktu yang lalu disimpang cahaya dan kelam pada garis tipis senja dan malam aku mengenalmu mengajakmu bercerita tentang angin yang membadai ombak laut dan perahunya tentang darah dan luka luka yang nyaris sama pernah menggores telapak kakimu langkah langkahmu hampir patah dan darah memburamkan pelangi yang indah kita juga bicara tentang langit dan bintang langit yang terkadang tersaput awan menutupi cahaya yang seharusnya gemintang tentang mimpi yang terselubung lalu sekali lagi disimpang ini aku termangu haruskah aku melepasmu atau bisakah kita bersama memadukan mimpi yang tak satu    

repih

aku tatal kayu jati yang tercecer di pinggir setapak kampak waktu menyerpihkanku seperti ayunan ibrahim didada Sin melemparku ke semak semak ditepi jurang bersama pecahan dadanya aku terggigil menatap jantung Sin di bilik kanannya ada kamu tersenyum kepadaku memintaku menuang anggur kedalam cawan lalu minum bersamamu didalam semak antara jurang dan setapak aku tersungkur lalu kamu mendekapku hampir lebur dan ketika kutatap hatimu aku terisak serak hampir berteriak tak kutemukan Kalijaga disana aku lusuh ditepi jurang

fantaisie

aku memiliki sebuah bayangan  imajinasi yang meruntuhkan nalar dan menghadirkanmu dalam tiduran aku terlelap kemudian ketika aku terjaga bayangan itu telah merayu kesadaran meyakinkan ini bukan hanya sebuah bayangan aku merasakanmu tidak sebagai sesosok bayang aku menikmati keberadaanmu keberadaan yang kau titipkan pada angin keberadaan yang kau sertakan bersama cahaya menjadi pemantik api bahkan aku merasakan keberadaanmu dalam gerimis menjelma embun di ujung ujung rambutku yang tipis lebih sejuk dari awan halimun yang meniris aku mengerti waktu tak mau menunggu tak sempat mengantarmu padaku belasan tahun lalu tetapi, aku telah katakan pada waktu jika dia mampu mengantarku padamu mungkin belasan tahun kedepan atau puluhan tahun kedepan aku tidak hanya akan memiliki bayangan setiap detak nadimu setiap helai rambutmu setiap desah nafasmu setiap derak tulangmu setiap pori pori kulitmu setiap derai tawamu setiap rintihanmu setiap tatapanmu adalah keseh

MI Muhammadiyah... Sumberku

telah tiba masa aku meneruskan langkah menambah isi bekalku menuju sebuah hari yang cerah enam tahun atapmu menaungiku jiwa jiwa malaikat dalam tubuhmu yang kuat mendidik senyaman pangkuan ayah membimbing selembut belaian ibu memapah langkah langkah kecil dan belum terarah membekali akhlak dan ilmu untuk masa depanku aku telah siap menapaki undakan dibawah atap baru memperbanyak isi perbekalan hingga kugapai langit biru ketika tiba masanya mata dunia memandang aku, mereka tahu MIM Sumber telah menanam pondasi yang kokoh didadaku

serigala

wanita itu pernah menjelma serigala saat seharusnya ia menjadi anjing gembala menjaga mimpi yang tersandar dipundak ringkihnya menggapai puncak bendera yang berkibar ia tidak berbulu domba atau rusa hanya rangkaian bunga diubun ubun sebagai mahkota yang dengan rangkaian bunga itu ia terjerat memangsa tak lagi bermimpi, ia mencabikcabik daging segar mengikuti gelegak merah darah muda sepuasnya dalam balutan sutera ia berkelana menjelajahi padang rumput dan hutan belantara bahkan sering juga menyinggahi menara menara untuk memuasi lapar dan dahaga yang tak pernah habis dan selalu membuatnya lupa lalu lucifer dengan setia menemani tanpa banyak syarat dia mengajari cara tercepat menerkam membunuh dan menghancurkan mangsa yang sebenarnya masa depannya sendiri Rangkasbitung Juni 2013

bayangan

Lelaki itu masih tak mau terjaga sebenarnya masih ingin menikmati mimpi yang diciptakannya melelapkan diri pada bayangan tak nyata lelaki itu tak mampu memcerna isyarat isyarat yg disampaikan bayangannya terlalu lelap dalam keinginannya menguasai bayangan dalam mimpi yang tak pernah benar benar dimilikinya lelaki itu masih tetap tak mau terjaga ketika bayangan itu sirna menyelinap meninggalkan mimpinya membawa serta separuh jiwanya

perjalanan (waktu)

ketika tangisan pertamamu terdengar memecah airmata bahagia yang dibalut senyuman mereka yang telah dengan sepenuh cinta mengharapkan adamu empatratus enampuluh sembilan bulan yang lalu lalu waktu memberimu kesempatan menikmati masa setelah adam senyum dan netra menelaga mengendapkan resah dan lelah seisi rumah melebur beribu penat menjadi semesta ceria waktu juga mengenalkanmu pada manisnya rasa merah jambu saat kau menjelma mekar bebunga nyaris sempurna kala remaja pun waktu sempat melemparkanmu kedalam lubang hampa sedingin kutub utara luka yang menganga hampir menenggelamkanmu gelisah di dasar nestapa dan kini memasuki awal kematangan usiamu dengan segala yang waktu telah ajarkan padamu kau memilih biru untuk menghijabi hatimu mencoba setenang riak telaga mengalir mengikuti waktu yang hampir tak pernah mau menunggu

(hampir) pupus

kukira musim akan segera berlalu basah akan segera musnah menetas kering yang segera mengiring terpapar ranting yang meranggas karena tanah telah mencadas namun awan meniris hujan masih menggerimis menitik di pucuk pupus dedaun memekarkan kuncup yang hampir menyerah diujung musim

terjatuh dipersimpangan waktu

hari sangat perawan memoles senyum mengembang keindahan menyeret lelaki hijau setumpul belati karatan dalam pelukan pelangi malam yang melenakan lelaki itu terkesima melupakan ayat ayat kehidupan membaur bersama kelam menyisikan titian membelakangi masa depan sesaat sebelum awal persimpangan waktu yang menentukan esoknya ia terjatuh menghempaskan mimpi sehancur serpihanserpihan tai gergaji masih terasa nyeri ketika terbangun menjumput seserpih mimpi tergenggam sepenuh hati mencoba menjaganya dan menegakkan langkah sebelum mampu mendaki sekali lagi Rangkasbitung pertengahan April 2013

kelak

akan ada sebuah bangku untuk kita duduk bersama merangkai cerita menganyam rasa seindah bungabunga yang saat ini bermekaran ditaman fantasi kita bila waktu itu tiba tak ku ikhlaskan sekelopakpun luruh bungabunga yang bermekaran dihatimu dan hatiku

pohon kelapa disamping jembatan

menegak kau sebelum awal pertemuan seperti sengaja persaksikan dari jauhan tetestetes rindu yang bertemu gumpalgumpal gelora yang menyatu aliran takdir alam yang saling menyambut berpagut dalam setiap pusaran lalu berhimpitan menuju alur baru dengan kaki terendam kau sengaja nikmati jilatan lidahlidahnya, bahkan tanpa sungkan juga kau sesapi liur yang selalu basah sampai hausmu terpuasi menegak kau sebelum awal pertemuan dalam tiap tamparan mentari belaian angin menyejukimu pada tiap pekat malam kunangkunang menghinggapimu maka dengan tegakmu tak perlu kau soal keadilan bagimu keadilan datang dengan atau tanpa jembatan

prasasti

lihatlah... masih sesudut kisah tak terisi dengan tulisantulisan cerita alinea tentang indahnya cinta goreskan kedalamnya aksara-aksara asmara lukis juga siluetsiluet rindu buat semua lebih bermakna lalu kita ukir indahnya menjadi prasasti yang abadi dihati

tentang api

kekasih... kemarilah duduk disampingku raih jemariku dan kita bicara tentang rasa yang menyelimuti hatimuhatiku tentang api yang membakar tentang api yang menyejukkan hati tak hendak kupungkiri rasa terajut rindu terbalut cinta terpagut api yang tersulut membakar dan meletup gelora purba terlecut aku ingin kau tau kirana dalam kobarankobaran didada dalam bisikanbisikan suara dalam tiap irama kita apimu membakar semesta gulana menjelma kristalkristal salju bertahta dijantung rasa meresap keseluruh pembuluh rindu menyejukkan hatiku

kasmaran

riak menggemuruh cahyamu mendebur degup jantungku irama irama semesta  sutera kama cita nestapa menggelegak asmarandana meliuk mengembang mengepak sayap sayap gelisah menerbagkan letupanletupan angan memeluk safa dan marwah terbenam aku dalam dekapan terdalam rasa rindu yang selalu merajam kemarilah kuning melati benamkan aromamu kedasar hati hangat tersepi ijinkan kutuangi cawanmu dengan anggur anggur surgawi tuak dari sari pohon jati terbang bersamaku tenggelamkan aku dalam rekah bibirmu biarkan kusulam hatimu dengan benangbenang bermadu karena kesumba itu telah menjadi candu

sepi yang sempurna

pun sebelum cahaya tertelan malam ufuk barat merubah wajahnya jingga memesona lalu, haruskah matimu tanpa sebuah pertanda hingga aku tak bisa persiapkan bungabunga penghias pusara yang muncul tibatiba didada  

terminal terminal

langit sedikit redup bersama aroma kopi berbau kentut terminal tua itu terlarut mungkin teringat pada pantat pantat kenyal remaja yang tiap hari asik dirabainya atau pada punggung punggung belia yang dulu bersandar dan mesra diciuminya juga pada khas wangi sopir dan kernetnya angin mempercepat lajunya tertusuk dagu rapuhnya semakin dalam lukanya tercabut juga sehelai gentingnya atap yang dulu menaungi kegagahannya juga jiwa jiwa yang butuh keteduhannya dari derasnya hujan dan panasnya isi kepala kini... dalam sepi ia meratap sendiri hanya gerobak tua yang selalu lembut dibelainya dan alunan pujianpujian padaNya mendekap setiap gigil malamnya  terselimuti aroma dupa dari sebuah vihara juga tua aku.. hanya bisa menitip berita pada sepasang merpati yang bercengkrama 'terminal baru itupun terabai takberguna'

maaf, tak seharusnya aku begitu

tak mampu aku mengerti seluruh kalimatmu karena sebelum kepalaku mencerna kalimatmu menjelma rangkaian gerbong kereta pelan..melindas tubuhtubuh asa hancur menjadi debu debu cemburu menjelma balokbalok salju yang menghancurkan perahu kayuku yang mulai berlayar menuju rindumu rinduku menggelepar tercecer terbakar

terjaga

bangunlah jiwa rentangkan sayapmu sambut mentari menarilah hati menari dengan tarian yang tak mengebiri menari dalam iringan irama semesta lepaslah belenggu yang menelikung nurani semestinya hidup kujalani dengan gelinjang bahagia bukan rasa yang merana bila cinta bukan berarti memiliki tak berarti harus menyakiti rasamu juga egoku, hatiku juga keakuanmu hatimu seputih salju salju yang seharusnya kujaga untuk abadinya kristal kristal sakura tak semestinya kubiarkan menguap dan menjadi mendung di angkasa renjana mendung yang menyesakkan jiwa dan merantai kebebasanmu aku akan biarkan itu tetap seperti itu

ikhlas?

dinda.... lewat angin yang hampir mati malam ini airmatamu sampai rindu yang kau titipkan padanya menggores dalamnya rasa yang belum sirna meraja pun hatiku mendambamu bersama merenda kisah biru tetapi dinda... biarlah rasa yang tak pernah sirna itu lelap dalam sanubariku mungkin dia yang terbaik untukmu?

sebalah sayapku (masih?) patah

telah kupatahkan sebelah sayap yang malaikat sempat titipkan padaku sayap yang seharusnya menerbangkan duniaku mungkin waktu itu tanpa dirimu sayap sayap penuh warna yang tak mampu kujaga dengan bersihnya cinta kulumuri warna warna pelangi masa muda dengan tuak buah buah surga yang seharusnya belum untuk kunikmati? meninggalkan noktah buram semanis nila lalu.. engkau tiba kirana mengguyur sisa sisa sayapku dengan warna kesumba melukis imaji dengan sebelah sayap kucoba terbang lagi membawa hatimu walau aksaraaksara cintamu lebih rumit dari baitbait puisi selalu tak mampu kumaknai lebih misteri

batu

wahai kekasih..... lihatlah kedalam hatiku yang dipenuhi lautan hayal tentangmu wahai kekasih..... genggam indahnya rasaku rasa yang kau hadirkan dalam bersama nyala api dian wahai kekasih..... indahkan kembali mimpiku ukir kembali nafasmu lepaskan hasrat jadi satu rasa itu telah membatu
Ketahuilah... duhai cahaya lilinku aku sebatang kayu damar yang tak pernah habis getahnya untuk selalu menyalakan apimu karena riak riak kecil itu telah menjadi gelombang dihatiku

selamat tidur kekasih

indahkan aku dalam mimpimu hidupmu seperti indahnya semi bunga bunga aku akan menjadi hujan di subur tanah kasihmu tunas tunas cinta yang tumbuh biarkan mengisi semesta hatimu hatiku akar akar sayang itu indah menguatkan kamu dan aku
aku dan kekasihku seperti tetesan hujan dan tanah yang subur selalu saling menumbuhkan tunas tunas cinta yang indah selalu menumbuhkan akar akar kasih sayang yang kuat

trance

mengukir indah bayangmu hatiku pahatan pahatan napsu berhala berhala rindu tindih menindih menjadi gunungan tumpuk menumpuk magma tak terbendung leleh mengalir menuju samodra keringatmu kulayari gairah tak bertepi

mimpi yang tertunda

masih... kudayung perahuku pelan malam tanpa bintang semangat timbul tenggelam hanya kekerasan hati menguatkan ayunan langkah perlahan hingga saatnya kutemui indahnya secercah fajar saat cahaya menerangi kompasku jarumnya lurus menunjuk arah pelabuhan impian

mawar tanpa temali

biarkan saja mawar itu tetap mekar merona walau temali tak menguntai melati Penghias mahkota rambutmu mungkin hanya kabut halimun dan kembang edelwise yang mengerti abadinya hasratku walau ombak terlalu jauh menyentuh Pantaimu

dinding

pada sebuah dinding kutemukan selembar soneta sajak tentang kehangatan tanpa silsilah cinta yang diselimuti gumpalan gumpalan rindu dendam dalam bentangan jarak dan waktu bunga dibiarkan liar tanpa kekangan menyingkap kelopak api berselimut bara membakar sayap sayap kering lebah menggelepar bersama dalam irama kidung asmara yang tertumpah tali temali diikatkan tanpa simpul melilit garis garis patah tanpa celah menjelma sebentuk busur tanpa anak panah jemari melukis pecahan mimpi janji janji yang tak pernah diikatkan hanya pada malam genggaman dieratkan

perahu kita akan terus berlayar

perahu kita masih terus berlayar dihimpit badai menjejak gelombang dengan sebelah layar yang mungkin sengaja kulobangi dengan sayatan sayatan belati robek juga hatimu kemudinya patah atau mungkin sengaja kupotong? terombang ambing tak terarah terhisap pusaran waktu terperangkap dalam segitiga segitiga perahu kita masih terus berlayar mencoba melawan arus yang berputar dengan sebelah lambungnya yang mungkin sengaja kubuat retak dengan pukulan pukulan dusta remuk pula dirimu dan dengan cinta dan tulusmu kau jahit juga layar itu kau sumbat kembali retakan itu kau sambung kemudi itu dan perahu kita akan terus berlayar

larut

gerimis mengabut sulur sulur memerangkap rasa jarum jarum menusuki rindu terbang pusaran kama dalam dekapan sayap sayapnya terbang diatas hampa dinding dinding pelangi senyum dan kerling bidadari lembab bibir bibirnya meruap seribu beku kembang sebrang tengadah menantang hujan terbuncah jarum jarum gerimis jarum jarum rindu lebur dalam kelopakmu             

keterlaluan?

kabut masih menelungkup menikmati sisa pergumulan dengan tanah semalam bangun kesiangan seorang lelaki asik memainkan cangkulnya memangkur tanah majikan sekeras garis nasibnya semesta nestapa melingkarinya ditindih beban dicumbui kesengsaraan lengan gemetar digelayuti kemiskinan jiwa menggeletar selalu disetubuhi penderitaan perih menciumi seluruh lekukan hidupnya semakin tak berdaya matahari bangun sedikit kesiangan memberi hangat dan sedikit harapan dalam lelehan keringat muncul sebuah tanya "kapan bisa beristri dua?"

selamat ulang tahun

ratusan kilometer terbentang diantara sawah dan lautan membelah emper pertokoan dan rumah rumah kardus aku telusuri kembali jalan pulang bersama hati yang tandus meninggalkanmu dalam kenangan bersama semarang kita tak pernah terlupa jalan jalan sepeda dan gimbal udang ibumu waktu dan hidup berubah, tapi tidak persahabatan kita? hari hari berjalan cepat walau kadang melambat menjumpai kembali hari kejadianmu. seterang kemukus di fajar awal selalu melahirkan asa terindah hari hari baru seindah doaku untukmu

tertinggal

saat cakrawala menjadi jingga daun daun albasia tidur ayam naik ke sarangnya didahan mangga. ingat waktu itu kawan duduk duduk di warung kucing lesehan membagi dua sebatang rokok saat kiriman belum sampai. ahh cepat sekali langkahmu membuang rintangan mendaki mimpi mimpi yang belum lahir saat kita curi kaleng susu tak berisi di warung makan setelah kehujanan dan kita kelaparan mimpi yang belum terbit diatas gunung hanoman saat kau mencoba keberanian menikmati hangatnya secangkir pagutan seorang wanita sejati setelah bibirmu dikulum banci beberapa bulan berselang detik detik berlari tahun tahun berlompatan mengantarmu menjadi sodagar aku tetap disini, dalam jeratan semak semak masa lalu menggigil dalam dekapan balok balok kenangan dingin dan menakutkan memandangi rembulan yang temaram disebelah menara hitam lewat debu yang beterbangan kirimi aku seikat senyuman seikat saja, demi harimu dan hariku waktu itu

duaribu mil

bila aku angin..... kulilitkankan ujung jubahku pada buritan perahu kayu berlayar duaribu mil untuk membelai wajahmu. saat kau rasakan angin mengelus rambutmu itu sayangku saat kau rasakan angin mengecup bibirmu itu cintaku. bila angin menelusup dibalik jaketmu itu rinduku

bersemi di merbabu

sesaat sebelum kudaki merbabu percikan cahaya matamu menyinari redup jiwaku, hati setengah kosong ditinggalkan cinta yang menghuninya. pesona lembut tatapanmu meniupkan semilir angin mencipta riak riak gelombang, kecil tapi tak berakhir di pos pertama dingin menerpa, tanganmu yang telanjang merintih kedinginan tak mampu mengekang rasa, kuselimuti jemarimu dengan rajutan benang warna merah jambu ujung jariku, meremang agak merah pipimu dalam keteduhan mata secerah bintang berbalut senyuman, hangat merambati jantung sampai ke kaki malam semakin tinggi, kita dirikan tenda diatas pelangi warna warni dinding dindingnya memberi batas pada dinginnya angin yang menggigit dan hangatnya secangkir pagutan pada manis bibirmu dari intipan rembulan yang tersenyum malu esok ketika sang timur terjaga, menghalau sisa sisa embun di rambutmu kita akan tumpahkan harapan pada puncak gunung dan akar edelweis pada mata airnya untuk terus mengalir menambah riak gelombang kecil yang tak berakhi

gadis dipersimpangan

lelaki setengah baya berjalan sedikit timpang dalam gerimis menuju rumahnya di ujung sore menekuri kerikil jalanan kehidupannya yang tajam belum juga selesai. sesaat langkahnya surut terhenti pada ujung kenangan tentang seorang gadis di persimpangan pada tetesan lembut kasih sayang diantara belaian mesra perawatan saat nafas diujung kehidupan hangatnya api harapan yang dihembuskan oleh semilir angin cinta dalam sapaan sapaan manja hingga mengering luka  wanita terindah yang pernah hadir dihatinya bukan pada ketakberdayaan memiliki yang menyakitinya awal persimpangan itu selalu merobek hatinya

mantra

mencarimu dalam lukisan langit malam isakmu yang paling lirihpun tak bisa kudengar bentangan awan dipucuk pucuk daun kering hatimu menutup menghalangi ketajaman sinar suar ketulusanku mencoba menangkap riap ujung cahaya hatimu tergelincir dalam puncak menara temaram menyatu dengan kanvas langit malam menghitam kelu tertidur dalam bingkai membatu lelaplah dulu dalam gejolakmu dewi biar kuteruskan kembara jiwa menelusuri kumparan waktu dalam pencarian sebait mantra bila kutemukan mantra itu dipangkal rindu biarlah cupid membacanya untuk membangunkanmu genggam jemari dan rebahlah didadaku untuk sedikit mengurangi beban dijiwa tatap mataku yang mengalirkan sungai cinta kehatimu dan memejamlah sejenak rasakan sejuk embun mengusir kabut di ubun ubun yakinkan semua akan baik baik saja

la tansa

berhenti diatas la tansa diatas hamparan sawah hijau dengan hembusan angin mengusap lembut pucuk pucuk cemara juga lelah jiwa menguar aroma rindu tergoda untuk meraba bayangan basah dalam setangkai melati kuning yang menjelma wajahmu

tersesat

menggerayangi betis betis waktu di kota penuh lumpia bulu bulunya memelintir lebih dari separo umurku meninggalkan kubangan kubangan kerbau dan cericit burung bersama padi dan air sungainya yang bening tak selesai mengeja ayat ayat kota yang seakan merdu memesona terburu birahi terseret dalam bidak bidak nuansa merah membiru serupa darah tapi lebih mirip gincu mengkilat memompa hasrat semacam  gadis gadis tanpa baju memanjakan syahwat lupa pada kubangan kerbau dan cericit burung larut dalam hentakan irama irama cleopatra yang binasa tak ada bedanya antara gigitan ular dan minuman beracun atau opium rebah tersungkur dalam cawat sutera menara berbau anggur hilang ingatan pada padi dan air sungainya yang bening merenangi kolam kolam candu yang tak pernah mengering kolam kolam lendir yang tak kentara berbau anyir selokan yang tikusnya sebesar anak anjing menakuti kucing menggerayangi betis betis waktu dengan bulu-bulunya yang memelintir terjerembab  terhimpit bagai s
ohh. ternyata matahari telah tinggi kukira aku masih bermimpi tentang penjual sate keliling menyembunyikan janda aparat dengan dua anaknya di kamar kos sempit seadanya yang tiap sore mampir coffeemix hangat dalam plastik dituangnya ke gelasku buat kami nikmati berdua ternyata matahari telah tinggi dan kukira aku masih bermimpi tentang anak saudagar yang telat kawin mengidamkan gadis cantik sebelah rumahnya kasian benar tak tanggap dengan perhatian sang anak saudagar telat kawin sibuk dengan kuliah dan dunia mudanya dan ternyata matahari telah tinggi aku tak berani bermimpi tentang seorang wanita pengelana seribu peristiwa sedang hasratku tak terhenti
baiklah kuceritakan padamu selembar kisahku tentang anak empatbelas tahun yang masih ranum kuremas kedua buah dadanya kukulum asin puting susunya dan dia tak pernah meminta ampun anak empatbelas tahun itu menggeletar seluruh tubuhnya dalam balutan anyir bau keringatku yang menurutnya semanis madu anak empatbelas tahun gila dengan fantasinya sedang aku bukan arjuna penakhluk wanita hanya segumpal hati yang membusuk terluka teramat dalam

belatung neraka

perasaan itu kembali mempermainkanku menyelinap diantara tulang tulang igaku yang kerontang menyergap mengkoyak-koyak seonggok hati yang telah sekian lama membusuk dikerumuni belatung belatung neraka bahkan menghunus kampaknya yang bermata dua memberi pesan dia bisa mrnghancurkan segala yang bermain mendekatinya dan aku tak peduli dengan pongah menantangnya yang sesungguhnya tak punya nyali perasaan atau aku yang tak bernyali aku juga tak peduli nyatanya dia tak membiarkanku lari dan aku tak mencegahnya berhenti kembali belatung belatung itu yang menang membawa pulang seonggok hati ke neraka untuk mereka adakan pesta pora sambil mendengarkan kidung pujian senandung tuan tuan besar mereka
kubuka jendela rindu  ditengah malam kelam membiru diantara bayang desahan rintihan yang melumatkan seluruh dendam  kupu kupu putih merah diantara daun basah menggeliat panaskan darah meliuk mendaki batas gairah lelah mengharap hadirmu melati  disini bercakap tentang kelopak kelopak rindu bercengkrama diatas tangkai madu acuhkan tak usah hiraukan burung hantu tersipu antara iri dan malu

segenggam rindu

segenggam rindu menghasut aku semakin memujamu menabur siksa didada menusuk sampai ujung kepala bungaku wangimu belum begitu terasa aromamu tidak begitu nyata tetapi aku gila terpesona entah jika kelopakmu telah merekah menebar seribu gairah biarkanlah kini aku manyanjungmu menikmati adamu selagi kuncupmu menggetarkan jantungku  kelak saat beribu kumbang mencium wangimu mungkin engkau setuju biarkan aku mati membeku

duka lelaki tua

genggam erat tanganku kawan jangan dulu kau lepaskan aku masih butuh dekapan bisikkan ditelingaku sahabat kata kata lembut memikat aku belum mau sekarat peluk aku tenangkan gejolak jiwaku aku bukan ingin mencumbumu seperti pada perempuan perempuan pelepas jemu aku hanya ingin kau ada menemaniku terjaga sampai fajar tiba

cerita seorang lelaki tua

kawan temani aku memindai hari hariku yg tlah lalu hari hari yang kulewati tidak denganmu yang melelahkan dan menyenangkan yang membuatku terlena terbuai dunia kawan dengarkan keluh kesah yang resah jiwa yang lelah dengan sedikit harapan kawan maafkan ketakpedulianku saat hari-hari emasku terlalu lupa untuk menyertakanmu terlalu sibuk dengan diriku kawan inilah aku sekarang tergeletak di pembaringan dan ternyata hanya ada engkau yang datang (untuk om Arifin Tanuwijaya; happy new year jalan masih lebar terbentang di depan)