Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2013

keterlaluan?

kabut masih menelungkup menikmati sisa pergumulan dengan tanah semalam bangun kesiangan seorang lelaki asik memainkan cangkulnya memangkur tanah majikan sekeras garis nasibnya semesta nestapa melingkarinya ditindih beban dicumbui kesengsaraan lengan gemetar digelayuti kemiskinan jiwa menggeletar selalu disetubuhi penderitaan perih menciumi seluruh lekukan hidupnya semakin tak berdaya matahari bangun sedikit kesiangan memberi hangat dan sedikit harapan dalam lelehan keringat muncul sebuah tanya "kapan bisa beristri dua?"

selamat ulang tahun

ratusan kilometer terbentang diantara sawah dan lautan membelah emper pertokoan dan rumah rumah kardus aku telusuri kembali jalan pulang bersama hati yang tandus meninggalkanmu dalam kenangan bersama semarang kita tak pernah terlupa jalan jalan sepeda dan gimbal udang ibumu waktu dan hidup berubah, tapi tidak persahabatan kita? hari hari berjalan cepat walau kadang melambat menjumpai kembali hari kejadianmu. seterang kemukus di fajar awal selalu melahirkan asa terindah hari hari baru seindah doaku untukmu

tertinggal

saat cakrawala menjadi jingga daun daun albasia tidur ayam naik ke sarangnya didahan mangga. ingat waktu itu kawan duduk duduk di warung kucing lesehan membagi dua sebatang rokok saat kiriman belum sampai. ahh cepat sekali langkahmu membuang rintangan mendaki mimpi mimpi yang belum lahir saat kita curi kaleng susu tak berisi di warung makan setelah kehujanan dan kita kelaparan mimpi yang belum terbit diatas gunung hanoman saat kau mencoba keberanian menikmati hangatnya secangkir pagutan seorang wanita sejati setelah bibirmu dikulum banci beberapa bulan berselang detik detik berlari tahun tahun berlompatan mengantarmu menjadi sodagar aku tetap disini, dalam jeratan semak semak masa lalu menggigil dalam dekapan balok balok kenangan dingin dan menakutkan memandangi rembulan yang temaram disebelah menara hitam lewat debu yang beterbangan kirimi aku seikat senyuman seikat saja, demi harimu dan hariku waktu itu

duaribu mil

bila aku angin..... kulilitkankan ujung jubahku pada buritan perahu kayu berlayar duaribu mil untuk membelai wajahmu. saat kau rasakan angin mengelus rambutmu itu sayangku saat kau rasakan angin mengecup bibirmu itu cintaku. bila angin menelusup dibalik jaketmu itu rinduku

bersemi di merbabu

sesaat sebelum kudaki merbabu percikan cahaya matamu menyinari redup jiwaku, hati setengah kosong ditinggalkan cinta yang menghuninya. pesona lembut tatapanmu meniupkan semilir angin mencipta riak riak gelombang, kecil tapi tak berakhir di pos pertama dingin menerpa, tanganmu yang telanjang merintih kedinginan tak mampu mengekang rasa, kuselimuti jemarimu dengan rajutan benang warna merah jambu ujung jariku, meremang agak merah pipimu dalam keteduhan mata secerah bintang berbalut senyuman, hangat merambati jantung sampai ke kaki malam semakin tinggi, kita dirikan tenda diatas pelangi warna warni dinding dindingnya memberi batas pada dinginnya angin yang menggigit dan hangatnya secangkir pagutan pada manis bibirmu dari intipan rembulan yang tersenyum malu esok ketika sang timur terjaga, menghalau sisa sisa embun di rambutmu kita akan tumpahkan harapan pada puncak gunung dan akar edelweis pada mata airnya untuk terus mengalir menambah riak gelombang kecil yang tak berakhi

gadis dipersimpangan

lelaki setengah baya berjalan sedikit timpang dalam gerimis menuju rumahnya di ujung sore menekuri kerikil jalanan kehidupannya yang tajam belum juga selesai. sesaat langkahnya surut terhenti pada ujung kenangan tentang seorang gadis di persimpangan pada tetesan lembut kasih sayang diantara belaian mesra perawatan saat nafas diujung kehidupan hangatnya api harapan yang dihembuskan oleh semilir angin cinta dalam sapaan sapaan manja hingga mengering luka  wanita terindah yang pernah hadir dihatinya bukan pada ketakberdayaan memiliki yang menyakitinya awal persimpangan itu selalu merobek hatinya

mantra

mencarimu dalam lukisan langit malam isakmu yang paling lirihpun tak bisa kudengar bentangan awan dipucuk pucuk daun kering hatimu menutup menghalangi ketajaman sinar suar ketulusanku mencoba menangkap riap ujung cahaya hatimu tergelincir dalam puncak menara temaram menyatu dengan kanvas langit malam menghitam kelu tertidur dalam bingkai membatu lelaplah dulu dalam gejolakmu dewi biar kuteruskan kembara jiwa menelusuri kumparan waktu dalam pencarian sebait mantra bila kutemukan mantra itu dipangkal rindu biarlah cupid membacanya untuk membangunkanmu genggam jemari dan rebahlah didadaku untuk sedikit mengurangi beban dijiwa tatap mataku yang mengalirkan sungai cinta kehatimu dan memejamlah sejenak rasakan sejuk embun mengusir kabut di ubun ubun yakinkan semua akan baik baik saja

la tansa

berhenti diatas la tansa diatas hamparan sawah hijau dengan hembusan angin mengusap lembut pucuk pucuk cemara juga lelah jiwa menguar aroma rindu tergoda untuk meraba bayangan basah dalam setangkai melati kuning yang menjelma wajahmu

tersesat

menggerayangi betis betis waktu di kota penuh lumpia bulu bulunya memelintir lebih dari separo umurku meninggalkan kubangan kubangan kerbau dan cericit burung bersama padi dan air sungainya yang bening tak selesai mengeja ayat ayat kota yang seakan merdu memesona terburu birahi terseret dalam bidak bidak nuansa merah membiru serupa darah tapi lebih mirip gincu mengkilat memompa hasrat semacam  gadis gadis tanpa baju memanjakan syahwat lupa pada kubangan kerbau dan cericit burung larut dalam hentakan irama irama cleopatra yang binasa tak ada bedanya antara gigitan ular dan minuman beracun atau opium rebah tersungkur dalam cawat sutera menara berbau anggur hilang ingatan pada padi dan air sungainya yang bening merenangi kolam kolam candu yang tak pernah mengering kolam kolam lendir yang tak kentara berbau anyir selokan yang tikusnya sebesar anak anjing menakuti kucing menggerayangi betis betis waktu dengan bulu-bulunya yang memelintir terjerembab  terhimpit bagai s
ohh. ternyata matahari telah tinggi kukira aku masih bermimpi tentang penjual sate keliling menyembunyikan janda aparat dengan dua anaknya di kamar kos sempit seadanya yang tiap sore mampir coffeemix hangat dalam plastik dituangnya ke gelasku buat kami nikmati berdua ternyata matahari telah tinggi dan kukira aku masih bermimpi tentang anak saudagar yang telat kawin mengidamkan gadis cantik sebelah rumahnya kasian benar tak tanggap dengan perhatian sang anak saudagar telat kawin sibuk dengan kuliah dan dunia mudanya dan ternyata matahari telah tinggi aku tak berani bermimpi tentang seorang wanita pengelana seribu peristiwa sedang hasratku tak terhenti
baiklah kuceritakan padamu selembar kisahku tentang anak empatbelas tahun yang masih ranum kuremas kedua buah dadanya kukulum asin puting susunya dan dia tak pernah meminta ampun anak empatbelas tahun itu menggeletar seluruh tubuhnya dalam balutan anyir bau keringatku yang menurutnya semanis madu anak empatbelas tahun gila dengan fantasinya sedang aku bukan arjuna penakhluk wanita hanya segumpal hati yang membusuk terluka teramat dalam

belatung neraka

perasaan itu kembali mempermainkanku menyelinap diantara tulang tulang igaku yang kerontang menyergap mengkoyak-koyak seonggok hati yang telah sekian lama membusuk dikerumuni belatung belatung neraka bahkan menghunus kampaknya yang bermata dua memberi pesan dia bisa mrnghancurkan segala yang bermain mendekatinya dan aku tak peduli dengan pongah menantangnya yang sesungguhnya tak punya nyali perasaan atau aku yang tak bernyali aku juga tak peduli nyatanya dia tak membiarkanku lari dan aku tak mencegahnya berhenti kembali belatung belatung itu yang menang membawa pulang seonggok hati ke neraka untuk mereka adakan pesta pora sambil mendengarkan kidung pujian senandung tuan tuan besar mereka
kubuka jendela rindu  ditengah malam kelam membiru diantara bayang desahan rintihan yang melumatkan seluruh dendam  kupu kupu putih merah diantara daun basah menggeliat panaskan darah meliuk mendaki batas gairah lelah mengharap hadirmu melati  disini bercakap tentang kelopak kelopak rindu bercengkrama diatas tangkai madu acuhkan tak usah hiraukan burung hantu tersipu antara iri dan malu

segenggam rindu

segenggam rindu menghasut aku semakin memujamu menabur siksa didada menusuk sampai ujung kepala bungaku wangimu belum begitu terasa aromamu tidak begitu nyata tetapi aku gila terpesona entah jika kelopakmu telah merekah menebar seribu gairah biarkanlah kini aku manyanjungmu menikmati adamu selagi kuncupmu menggetarkan jantungku  kelak saat beribu kumbang mencium wangimu mungkin engkau setuju biarkan aku mati membeku

duka lelaki tua

genggam erat tanganku kawan jangan dulu kau lepaskan aku masih butuh dekapan bisikkan ditelingaku sahabat kata kata lembut memikat aku belum mau sekarat peluk aku tenangkan gejolak jiwaku aku bukan ingin mencumbumu seperti pada perempuan perempuan pelepas jemu aku hanya ingin kau ada menemaniku terjaga sampai fajar tiba

cerita seorang lelaki tua

kawan temani aku memindai hari hariku yg tlah lalu hari hari yang kulewati tidak denganmu yang melelahkan dan menyenangkan yang membuatku terlena terbuai dunia kawan dengarkan keluh kesah yang resah jiwa yang lelah dengan sedikit harapan kawan maafkan ketakpedulianku saat hari-hari emasku terlalu lupa untuk menyertakanmu terlalu sibuk dengan diriku kawan inilah aku sekarang tergeletak di pembaringan dan ternyata hanya ada engkau yang datang (untuk om Arifin Tanuwijaya; happy new year jalan masih lebar terbentang di depan)